REFORMULASI GBHN, PENGUATAN DPD, DAN KENISCAYAAN PERUBAHAN KELIMA UUD NRI 1945

REFORMULASI GBHN, PENGUATAN DPD, DAN KENISCAYAAN PERUBAHAN KELIMA UUD NRI 1945[1]

155246220150315-1429381780x390OLEH: A.M. FATWA[2]

(Anggota DPD RI/MPR RI dan Ketua Badan Kehormatan DPD RI)

 

Pengantar

Montesquieu membagi fungsi kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga fungsi organ negara tersebut, hanya boleh menjalankan satu fungsi dan dalam artian yang mutlak, tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing. Namun dalam upaya pola hubungan yang harmonisasi dan sinergi antar ketiga organisasi tersebut, dimana tidak mungkin lagi mempertahankan pola hubungan antar ketiga organisasi tersebut yang hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut, maka konsepsi Trias Politica dianggap tidak lagi relevan. Sebagaimana dikemukan oleh Prof. Dr. Jimmly Asshiddiqie (Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, 2006):

Kenyataan dewasa menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balance. Di sisi lain, perkembangan masyarakat, baik secara ekonomi, politik, dan sosial budaya, serta pengaruh globalisme dan lokalisme, menghendaki struktur organisasi negara lebih responsif terhadap tuntutan mereka serta lebih efektif dan efisien dalam melakukan pelayanan publik dan mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Perkembangan tersebut berpengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga negara. Bermunculanlah kemudian lembaga-lembaga negara sebagai bentuk eksperimentasi kelembagaan (institutional esperimental) yang dapat berupa dewan (council), komisi (commision), komite (committee), badan (board), dan otorita (autority).

 

Dan di masa transisi demokrasi setelah runtuhnya Orde Baru, bangsa Indonesia melakukan eksperimen kelembagaan (institutional experimentation). Dimana salah satu agenda reformasi strategis yang dilakukan adalah perubahan UUD 1945 selama empat kali. Kondisi tersebut mudah dipahami karena selama 32 tahun kehidupan demokratis tidak berjalan, pemerintah seperti tanpa kontrol dan pengawasan, parlemen yang seharusnya membuat undang-undang dan melakukan pengawasan hanya bertindak sebagai ‘tukang stempel’ dan ‘mengamini’ saja setiap program pembangunan pemerintah/penguasa.

Dalam periode empat tahun (1999-2002) perubahan konstitusi terjadi pembentukan dan pembaruan lembaga-lembaga negara, dimana terdapat 34 lembaga negara, dengan 28 lembaga negara yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun rinci dalam UUD NRI 1945.

Sedikitnya terdapat tiga perubahan mendasar dalam Perubahan UUD 1945. Pertama, perubahan supremasi MPR menjadi ‘kedaulatan berada ditangan rakyat.’ Sehingga MPR RI tidak lagi menjadi ‘lembaga tertinggi negara’ dan semua lembaga menjadi sederajat kedudukannya. Sebelum Perubahan UUD 1945, konstitusi kita menunjukkan alam demokrasi timur dimana MPR RI adalah bentuk kedaulatan rakyat. Dan pasca perubahan UUD 1945, diadopsi demokrasi barat dimana                  MPR RI tidak lagi menjadi lembaga tertinggi dan diterapkanlah check and balance. Hal inilah yang menimbulkan gegap gempita perubahan UUD 1945 karena selama ini kita terbiasa dengan alam demokrasi timur dan tiba-tiba berganti menjadi alam demokrasi barat.

Kedua, bergesernya kekuasaan presiden kepada parlemen, bila sebelum Perubahan UUD 1945 cenderung executive heavy karena memang tekanannnya lebih pada hak dan kekuasaan presiden, pasca perubahan UUD 1945 justru cenderung legislative heavy. Atas kecenderungan UUD 1945 yang executive heavy,  ketika ditanya oleh Bung Hatta, Bung Karno menjawab bahwa setelah Perang Asia Timur Raya maka akan diubah kembali karena sifatnya sementara. Selanjutnya sebagaimana sudah kita ketahui akibat kegagalan Konstituante merumuskan UUD yang baru, dan Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presdien sehingga UUD 1945 tetap berlaku sampai runtuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto.

Meski menurut UUD NRI 1945 Pasal 4 ayat (1), Presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan, namun dalam Pasal 11 sampai Pasal 14 dalam urusan yang sejatinya menjadi wilayah kewenangan eksekutif, Presiden harus mendapatkan persetujuan/pertimbangan DPR RI, termasuk sekadar mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta negara lain.

Ketiga, pembentukan DPD RI. Salah satu ‘produk’ dan peristiwa monumental dari perubahan UUD 1945 adalah lahirnya lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Seperti kita ketahui, di era kepemimpinan Presiden Sukarno pernah terjadi pergolakan di beberapa daerah akibat dari kekecewaan tokoh-tokoh daerah tentang kebijakan pengelolaan negara yang dianggap mengabaikan dimensi pemerataan dan keadilan. Kebijakan pembangunan dianggap bias Jawa (Jawa centris), demikian juga dalam penempatan personil dalam posisi-posisi strategis di tingkat negara. Puncak dari kekecewaan daerah itu ialah meletusnya pergolakan dan deklarasi Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) pada tanggal  2 Maret 1957 di Sulawesi, selanjutnya diikuti Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal, 15 Februari 1958 di Sumatera yang dipelopori oleh tokoh-tokoh militer.

“Pemberontakan kelompok-kelompok figur” baik yang tergabung dalam Permesta maupun PRRI, dengan demikian, sebenarnya lebih pada tuntutan agar daerah memperoleh perhatian khusus oleh pemerintah pusat. Ini tampak dari program utama kedua kelompok itu adalah tentang otonomi daerah. Andai saja para figur dalam gerbong kedua perkumpulan itu terakomodasi di tingkat pusat sehingga bisa memperjuangkan daerahnya masing-masing, barangkali sejarah Permesta dan PRRI tak akan pernah terjadi.

Langkah politik yang diambil oleh pemerintah nasional pada era Soekarno itu adalah diselenggarakan Musyawarah Nasional Pembangunan Daerah yang salah satu poinnya mempertahankan kepemimpinan nasional yakni “Dwi Tunggal” Sukarno-Hatta. Kendati pada akhirnya Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden, namun parlemen (DPR) saat itu sangat menyadari perlunya menindaklanjuti hasil musyawarah nasional dan sekaligus mengakomodasi tuntutan para tokoh daerah, yang ditandai dengan terbentuknya “Panitia Sebelas” yang diketuai oleh Wakil Ketua Parlemen dari Partai Masyumi yaitu Z.A. Achmad dengan rekomendasi khusus perlunya dibentuk Dewan Daerah.

Sejarah politik seperti itu tentu tak bisa diabaikan. Para figur yang mewakili daerah dianggap sebuah keniscayaan untuk sekali lagi, memastikan kepentingan daerah selalu harus jadi pertimbangan dalam proses-proses pengambilan kebijakan di tingkat nasional. Perwujudan kelembagaan politik para wakil daerah itu terus bergerak secara evolutif. Dekrit Presiden Sukarno, 5 Juli 1959, yaitu kembali kepada UUD 1945 yang di dalamnya tercantum adanya utusan daerah (dan utusan golongan) sebagai bagian elemen MPRS. Kemudian terus berlanjut hingga sampai pada pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru) dengan posisi tetap sebagai fraksi Utusan Daerah (UD) di MPR, bersama Utusan Golongan dan TNI/POLRI. Namun pada saat itu, di samping cara pemilihan secara tidak langsung atau dipilih (formalitas) oleh DPRD, juga para anggota hanya memiliki aktifitas di Jakarta (Senayan) yang sangat terbatas, yakni hanya saat-saat ada sidang umum MPR dan atau ada tugas-tugas yang bersifat adhoc di MPR.

MPR di era itu memang merupakan lembaga tertinggi negara, dengan dua agenda utama di mana semua anggota (dari seluruh fraksi) berperan yaitu pada saat pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Selain dua fungsi utama itu, para anggota utusan daerah kembali pada aktivitas mereka semula, baik di daerah maupun di Jakarta. Sementara yang aktif bekerja sehari-hari membentuk undang-undang adalah DPR (semua anggotanya semua aktif di Jakarta dan juga reses), melakukan pengawasan terhadap implementasi kebijakan, dan menetapkan APBN. Tepatnya, hanya DPR-lah yang melakukan fungsi legislasi termasuk di dalamnya Fraksi TNI/POLRI, sementara fraksi utusan daerah dan utusan golongan tidak aktif.

Pembentukan DPD RI sebagai wadah yang menjembatani dan atau memperjuangkan kepentingan daerah akhirnya terwujud, yang merupakan bagian dari mandat gerakan reformasi (pasca Orde Baru). Keberadaan lembaga ini juga tampaknya meniscayakan terejawantahnya nilai-nilai demokrasi untuk absah menjadi wakil daerah, sehingga disyaratkan untuk ikut pemilu legislatif secara langsung bersamaan dengan anggota calon DPR dan calon anggota DPRD. Tak boleh lagi ada anggota wakil rakyat dan wakil daerah yang tidak melalui mekanisme demokrasi dengan lokusnya berada pada tingkat individu-individu rakyat. Dan dalam proses-proses itulah setiap figur calon anggota DPD bertarung untuk merebut simpati dan suara rakyat dari setiap provinsi, memperebutkan empat kursi yang tersedia sesuai dengan amanat konstitusi. Pada titik ini, kerap sekali para anggota DPD menganggap diri memiliki legitimasi sosial yang kuat ketimbang anggota DPR.

 

Refromulasi GBHN

Pernyataan sikap dan rekomendasi PDI-Perjuangan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI Perjuangan di Jakarta pada 12 Januari 2016, yang salah satunya mengusulkan mengembalikan kewenangan MPR RI untuk menetapkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) seolah menemukan momentumnya. Sebagai partai penguasa, apa yang ditawarkan oleh PDI-Perjuangan sejatinya adalah bukanlah hal baru, karena dalam berbagai kesempatan sudah sering disuarakan baik oleh kalangan akademisi maupun tokoh-tokoh nasional. Akan tetapi, harus diakui bahwa keputusan partai politik pemenang Pemilu 2014 ini adalah yang paling berwibawa: resonansi dan reperkusi politiknya bukan hanya sangat kuat, bahkan tujuh lembaga (tinggi) negara langsung melakukan rapat konsultasi dan setuju menindaklanjuti keputusan PDIP itu.[3]

Pembangunan yang tidak berkesinambungan dan berkelanjutan antar rejim pemerintahan serta tidak terjadinya sinkronisasi, harmoni, dan sinergi antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai ekses munculnya perbedaan the rulling party di Daerah dengan di Pusat, menjadi salah satu alasan utama untuk menghidupkan kembali GBHN.

Reformulasi GBHN yang disuarakan oleh PDI-Perjuangan tersebut masih meninggalkan dua pertanyaan penting, yaitu perihal subtansi/materi dan kedudukan hukumnya dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.

Pasca reformasi, nomenklatur GBHN hilang dalam sistem ketatanegaraan. Secara substansi yang dulu dikandung dalam GBHN sekarang disebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Rencana pembangunan nasional tersebut menjadi kewenangan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden terpilih). Hak dan kebebasan yang dimiliki Presiden dalam menentukan arah pembangunan tersebut membuat tidak ada kewajiban untuk saling melanjutkan, justru menjadi peluang untuk saling mengoreksi.

Selain itu, dari sisi kedudukan hukumnya RPJMN memiliki payung hukum berupa Peraturan Presiden (Perpres), dimana berdasarkan UU No. 12/2011 kedudukan Perpres menempati urutan kelima di bawah peraturan pemerintah (PP). Sementara, GBHN memiliki payung hukum berupa UUD 1945 dan diwadahi oleh Ketetapan MPR RI. Perihal urgensi GBHN tersebut diuraikan oleh mantan Wakil Ketua MPR RI periode 2009-2014, Hajriyanto Y Thohari sebagai berikut:[4]

Dalam konteks dan perspektif seperti inilah, pemikiran dan keputusan untuk menghidupkan kembali GBHN menemukan alurnya. Di sana ada kesimpulan bahwa negara ini memerlukan GBHN dengan konsensus yang lebih kuat sehingga lebih menjamin konsistensi dan kesinambungan dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Konsisten artinya dilaksanakan secara taat asas oleh seluruh penyelenggara negara secara horizontal (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Sedangkan, vertikal (pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) mendapatkan partisipasi rakyat dan secara sinkronis dan diakronis berkelanjutan: dari satu rezim ke rezim berikutnya yang datang silih berganti sesuai jadwal demokrasi. Kualitas konsistensi dan kelumintuan semacam itulah yang dinilai tidak bisa dimiliki oleh RPJM yang hanya diwadahi dalam perpres: siapa yang menjamin konsistensi arah pembangunan dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan berikutnya, baik secara horizontal maupun vertikal tadi? Alih-alih sangat meyakinkan, setiap datang presiden baru, datang pula “GBHN” (baca: RPJM) baru yang berbeda sama sekali dari GBHN sebelumnya.

 

Pada akhirnya, revitalisasi GBHN mengharuskan pula revitalisasi MPR RI sehingga Perubahan UUD 1945 menjadi sebuah keniscayaan. Refromulasi GBHN melalui perubahan pasti akan menimbulkan kontraksi/kegaduhan politik, karena hampir tidak mungkin Perubahan UUD 1945 dilakukan secara ‘terbatas’. Sesuai pengalaman di bahwa rezim Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dimana DPD RI pernah mengajukan Perubahan UUD 1945 namun urung dilaksanakan karena Partai Demokrat selaku the rulling party  tidak menghendaki terjadinya kegaduhan politik.

Untuk itu, momentum revitalisasi GBHN melalui Perubahan UUD 1945 harus dimanfaatkan secara strategis dan taktis oleh DPD RI. Mengingat secara peta politik di parlemen hanya Partai Gerindra yang mengambil garis tegas sebagai partai oposisi dan Partai Demokrat bertindak sebagai dinamisator yang moderat, sehingga secara hitungan metematis DPD RI harus bekerja keras melakukan komunikasi politik.. Perubahan UUD 1945 yang ‘terbatas’ dapat menjadi entry point bagi DPD RI untuk menawarkan konsepsi refromulasi GBHN ala DPD RI.

Sebagai perwakilan kepentingan daerah di tingkat nasional, DPD RI sangat berkepentingan terhadap reformulasi GBHN. Salah satu hambatan utama pemerataan pembangunan khususnya ketimpangan antara kawasan Indonesia bagian barat dan kawasan Indonesia bagian timur adalah tidak sinkron dan sinergisnya antara kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam banyak hal, Pemerintah Pusat merasa kebijakan yang sudah dibuat mandek atau tidak jalan, baik karena Peraturan Daerah (Perda), birokrasi ataupun distrust dari pemerintah daerah (Gubernur) sebagai konsekuensi logis dari perbedaan the rulling party di pusat dan daerah.

Sementara itu, pemerintah daerah juga merasa tidak diperhatikan atau ‘ditinggalkan’ dalam rencana pembangunan nasional. Sudah bukan rahasia bahwa hasil Musrebangnas berbeda dengan Musrembang Daerah yang berujung pada  agenda pembangunan daerah yang mandek atau tidak berjalan. Selain itu, suksesi kepemimpinan nasional yang tidak serentak dengan Pilkada, mengakibatkan terjadinya perubahan RPJMN di tengah jalan yang berdampak terhadap perubahan prioritas pembangunan daerah .

         

Two Eyes Is Better Than One Eye

Meskipun gagasan pembentukan DPD sudah ada sejak 31 Januari 1941 dalam konfrensi GAPI (Gabungan Politik Indonesia), namun gagasan tersebut benar-benar terwujud dan memiliki pondasi hukum kuat setelah pasal 2 ayat 1 UUD 1945 diamandemen dan berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan undang-undang.” Oleh sebab itu, secara yuridis-formal, DPD baru terbentuk pada tanggal 1 Oktober 2004.

Keberadaan DPD RI sangat strategis dalam keharmonisan relasi pusat dan daerah. Terlebih dengan basis aspirasi yang bersifat regional, keberadaannya dalam kerangka NKRI benar-benar sangat vital, karena dapat memperteguh persatuan kebangsaan. Percepatan pembangunan daerah secara merata demi peningkaran kesejahteraan daerah, adalah tujuan mulia yang diemban DPD RI.

Dengan demikian, keberadaan DPD RI mempunyai makna penting dalam perkembangan sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia. Eksistensinya sebagai lembaga perwakilan daerah adalah sebagai penyeimbang dalam sistem parleman dua kamar (bikameral) Indonesia, agar tercipta effective bicameral. Dengan harapan mampu mengemban amanah dan memperjuangkan aspirasi daerah, DPD RI dituntut mampu mengagregasikan dan mengartikulasikan kepentingan daerah dalam tataran kebijakan di tingkat nasional.

Selain itu, kehadiran DPD RI juga merupakan bagian dari kebutuhan untuk lebih terjaminnya kelanjutan pengelolaan negara yang lebih baik di masa kini dan mendatang. Karena sebuah negara pada dasarnya hadir dan eksis dengan memastikan terkordinasinya wilayah (teritori) dan masyarakat atau rakyat. Negara yang berdaulat akan selalu rentan dengan goncangan jika para administratornya hanya memperhatikan salah satu dari dua elemen utama itu. Tepatnya masyarakat, manusia, dan wilayah dengan segala kandungan yang ada di dalamnya harus dikelola dengan kebijakan-kebijakan yang relevan. Untuk bisa melahirkan kebijakan yang matang dan berkeberlanjutan maka diperlukan suara dari dua elemen, DPR RI dan DPD RI, yang merepresentasikan figur-figur yang tergabung dalam state mega structure (lembaga yang berada di tingkat negara).

Maka, dalam kaitan filosofi negara itulah, kehadiran DPD dianggap sangat penting dalam pengelolaan dan sekaligus keberlanjutan Indonesia sebagai negara besar dengan jumlah penduduknya keempat terbesar di dunia, dan juga memiliki elemen-elemen komunitas lokal yang disebut bangsa-bangsa (istilah lain dari suku-suku) yang mendiami belasan ribu pulau besar dan kecil yang membentang dari Papua di bagian timur sampai Aceh di bagian barat nusantara. Para anggota DPD mewakili daerah provinsi dengan mengabaikan (regardless) faktor jumlah penduduk dan luasan wilayahnya sama yakni empat orang dari setiap provinsi. Keempat anggota wakil-wakil daerah itulah, oleh konstitusi, ditugaskan untuk ikut terlibat dalam membahas rancangan kebijakan dan sekaligus melakukan pengawasan terkait dengan masalah-masalah tertentu – yang juga disebutkan secara jelas dalam UUD 1945 (hasil amandemen).

Dan jumlah anggota DPD yang sama dari setiap provinsi itu sekaligus juga terkandung filosofi equilibrium (keseimbangan) sosio-politik, mengingat fakta adanya ketimpangan besaran jumlah penduduk yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sementara yang mewakili penduduk adalah DPR, yang faktanya 55 % jumlah anggotanya berasal dari pulau Jawa dan Madura padahal luas wilayahnya hanya 6% dari total luas wilayah NKRI. Tepatnya, DPD sebagaimana keberadaan lembaga senat di berbagai negara itu, adalah dalam rangka menjadikan parlemen sehat lantaran dapat melihat suatu permasalahan dari dua sisi yang berbeda, tidak hanya dari sisi kepentingan politik berbasis jumlah penduduk. Maka benar kata-kata bijak yang menganalogikan lembaga parlemen seperti itu sebagai sosok manusia yang dikaruniai mata yang sempurna, yang kerap diungkapkan dengan istilah two eyes is better than one eye (dua mata lebih baik ketimbang hanya satu mata). Inilah prinsip dasar check and balances di lembaga parlemen sehingga suatu kebijakan yang diproduk lebih matang dan lebih berkeadilan.

 

Kesimpulan

Bahwa tidak ada satupun negara yang tidak memiliki konstitusi, karena didalam negara ada pusat-pusat kekuasaan. Dan pusat-pusat kekuasaan tersebut memiliki kemampuan dan power untuk memaksakan atau mempengaruhi kelompok lainnya. Untuk membatasi kekuasaan seperti itu diperlukan Konstitusi. Perubahan UUD itu jangan dimudah-mudahkan untuk dirubah, tetapi juga jangan ditutup untuk kemungkinan terjadinya perubahan.

 

[1] Disampaikan pada kegiatan Penyerapan Aspirasi MPR RI bersama Dr. (HC) A.M. Fatwa, Anggota DPD RI/MPR RI bekerjasama dengan IMM Cabang Gowa di Aula Gedung MAN Model, Makkasar, Kamis, 15 Desember 2016.

[2] Anggota DPD RI/MPR RI dari DKI Jakarta/Ketua Badan Kehormatan DPD RI.

[3] Hajriyanto Y Thohari, Revitalisasi GBHN, Revitalisasi MPR, rubik Opini harian Republika, Rabu, 03 Februari 2016.

[4] ibid

Diterbitkan oleh Pemuda Madani

Corong Pemuda Madani: Literasi Narasi Revolusi

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai