​TIDAK ADA LAGI “INTERUPSI” DARI MAHASISWA

Sangaji Furqan Jurdi

Oleh: Sangaji Furqan Jurdi

(Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)

Dunia kampus tengah dilanda oleh virus borjuasi gaya lama yang menjelma dirinya dalam bentuk kebijakan-kebijakan akademik yang mengekang untuk berekspresi. Dengan kebijakan kurikulum pendidikan yang sangat ketat mahasiswa disibukkan dengan persoalan kuliah-kuliah dan kuliah. Memang itu merupakan kewajiban bagi mahasiswa, namun selain sebagai akademisi mahasiswa juga memiliki tanggungjawab moral dan social. 

Mungkin tidak semua kebijakan kampus membunuh semangat kritis mahasiswa. Namun yang perlu disadari bahwa mahasiswa sebagai intelektual muda di negeri ini telah banyak kehilangan identitasnya. Alih-alih mereka sebagai motor penggerak utama perbaikan dalam masyarakat, malah mereka justru dibelenggu oleh berbagai tuntutan akademis yang mengarah para pola pikir pragmatis dan individualis. Akhirnya kaum intelektual muda mati rasa, tidak punya nalar kritis, tidak tahu menginterupsi dan hilangnya kepekaan social atas kesengsaraan, ketidakadilan dan kerusakan yang terjadi dalam masyarakat.

Ini merupakan sebuah bentuk gerakan apatisme yang dibangun melalui “otoritanianisme” kebijakan kampus, sehingga mahasiswa menjadi objek, bukan lagi subjek dalam proses pendidikan. Semangat awal yang dibangun oleh pemuda Indonesia dimasa-masa pra-kemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan sampai pada reformasi sekarang ini selalu mengalami penurunan yang drastic. Bisa jadi ini disebabkan oleh factor “diktatorianisme” kampus yang tidak menginginkan lagi adanya interupsi atas kebijakan mereka. Atau bisa jadi ini merupakan “persengkokolan” yang dimainkan oleh kekuasaan dengan dunia pendidikan, sehingga terbangunnya sebuah oligarki politik yang saling bermesraan untuk membunuh semangat perjuangan generasi muda.

Contoh pengekangan itu dapat dilihat dari beberapa fakta yang terjadi belakangan ini, mulai di Drop Outnya ketua BEM Universitas Negeri Jakarta pada bulan Juni 2016  karena mengkritisi kebijakan pemindahan tempat kuliah di kampus tersebut. Kebetulan Rektornya anti kritik dan bersikap atas nama otoritarianisme langsung memecat ketua BEM UNJ. Persoalan yang terjadi di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, akibat mengkritisi sikap kampus yang melarang adanya tempat diskusi di dalam kampus, akhirnya berujung pada bentrokan fisik dan di DO nya 24 Mahasiswa, beberapa hari yang lalu. Kasus Boby pada bulan lalu yang memakai latar kantor Rektor Universitas Indonesia untuk mengkritisi Ahok menjadi berita terhangat, apalagi ada kesan intervensi politik yang dihembuskan dari balaikota untuk memecat mahasiswa tersebut, walaupun tidak terjadi pemecatan. Itu hanyalah sebagian kecil dari berjibun masalah yang serupa terjadi di Perguruan Tinggi.

Ini merupakan persoalan dimana kampus telah dilanda oleh gaya birokratisme borjuasi lama yang mengubah diri dalam bentuk kebijakan yang anti kritik. Akhirnya mahasiswa seperti yang dikatakan oleh Soe Hoek Gie ingin dijadikan sebagai “kerbau” dan dosen ingin seperti “dewa”, seakan-akan sebagai manusia yang tak berdosa.

Kenapa hal itu bias terjadi?

Dahulu ada kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim Orde Baru, ketika pada waktu itu mahasiswa bergerak untuk mengkritisi kebijakan kekuasaan, yang berujung Pada “Malapetaka Limabelas Januari” 1974.  Adi Suryadi Culla (1999) mengatakan bahwa Peristiwa Malari adalah gerakan pertama mahasiswa secara monumental untuk menentang kebijakan pembangunan Soeharto. Pergerakan Mahasiswa pada masa ini dengan kental ditunjukan terhadap Kebijakan Orde Baru yang Pro terhadap Modal Asing sebagai penjajahan baru di Indonesia terutama Jepang pada saat itu. Gerakan mahasiswa berikutnya yaitu pada tahun 1978. Sama halnya dengan gerakan 1974, aksi ini muncul karena kekecewaan mahasiswa terhadap konsep ekonomi yang dijalankan Soeharto serta kekecewaan terhadap praktek politik Orba yang semakin jauh dari nilai-nilai demokrasi juga dimunculkan. Bahkan, pada masa ini mahasiswa dengan berani mengkampanyekan penolakan terhadap Soeharto yang ingin kembali mencalonkan dirinya menjadi Presiden.

Melihat bergolaknya gerakan protes mahasiswa terhadap kebijakan Orba, maka Pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui SK menteri pendidikan dan kebudayaan, Daoed Josoef, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK).  Inti dari dua kebijakan ini adalah untuk mengebiri kegiatan aktifitas politik mahasiswa. Di mana mereka hanya cukup memahami politik dalam artian teori bukan praktek.. Pemerintah Orde Baru melakukan intervensi dalam kehidupan kampus, dengan dalih stabilitas politik dan pembangunan. Kebijakan ini benar-benar menjauhkan mahasiswa dari realita sosial yang ada.

Pada tahun 2013  Universitas Hasanuddin Makassar memperoleh akreditasi A dari BAN-PT, telah menjadikan alas an pihak kampus, khusunya jurusan dan fakultas untuk melakukan pertiban terhadap kegiatan Mahasiswa. Mulai dari cara pakaian hingga pada langkah dan gerakan mahasiswa. Dengan bertopeng Komisi Disiplin, dosen-dosen terpilih menggunakan kuasanya menjatuhkan satu per satu sanksi kepada mahasiswa yang di anggapnya bebal. Dosen sebagai pendidik dalam institusi pendidikan merupakan pihak yang memiliki tanggung jawab melahirkan generasi intelektual yang berani, cerdas dan peka terhadap berbagai ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Generasi yang kritis, berpikiran bebas dan idealis dalam menyalurkan semangat mudanya. Tapi bilamana keadaan terbalik, dimana kampus mengekang gerakan mahasiswa dengan aturan yang mengada-ada, maka kampus tak ubahnya hanya menjadi sebuah pabrik. Pabrik yang menciptakan buruh siap kerja. Buruh yang selalu tunduk dengan segala aturan yang dibuat oleh sang majikan. Akhirnya terciptalah mahasiswa yang tidak mandiri dan bercokol dibalik ketiak zaman yang terus berubah, dan digilas oleh arus desar peruabahan yang terjadi

Pada tahun 2014 keluar Permendikbud 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Dalam aturan ini ditentukan bahwa beban belajar minimal mahasiswa S1/D-IV adalah 144 SKS (satuan kredit semester). Nah untuk menuntaskan seluruh beban SKS tadi, mahasiswa S1/D-IV diberi batas waktu 4-5 tahun (8-10 semester). Mungkin peraturan ini ideal untuk mahasiswa, tapi dengan pembatasan ini maka akan membunuh gerakan dan mematikan semangat berorganisasi. Apalagi kalau kebijakan kurikulum perguruan tinggi yang dilaksanakan dengan adanya otonomi kampus, maka tidak sedikit kebijakan kampus itu pengekangan terhadap kebebasan mahasiswa. Bisa jadi kampus yang diisi oleh “si-anti-Kritik” akan membuat orang cerdas mampus dengan kebijakannya. Itu banyak yang terjadi diberbagai kampus di Indonesia.

Selain itu munculnya “dosen-dosen” yang anti kritik selalu mengekang kebebasan mahasiswa dalam melakukan gerakan. Dengan itu mereka mengeluarkan kebijakan kurikulum yang menyibukkan mahasiswa sampai pada taraf kesibukan yang tak waras. Tuntutan kampus yang mengiginkan mahasiwa untuk cepat selesai dengan rajin masuk kampus, pakaian hitam-putih yang rapi, ramput disisir dengan licin dan sepatu kulit yang mengkilat, menghasilkan mahasiswa yang berprestasi tinggi dalam mencari perhatian dan menjilat pada dosen, sekaligus berhasil menghilangkan jati diri dan nalar kritis.

Efeknya, banyak sarjana pengangguran direpublik ini, sarjana yang tidak mandiri, sarjana yang tidak bias cari kerja, sarja yang tidak memiliki daya saing. Efek yang begitu sangat memprihatinkan ini melahirkan sarja-sarjana robot yang tidak memahami kondisi disekitarnya. Padahal hakikat sarjana adalah orang yang memiliki kemapuan melebihi orang-orang awam. Namun dengan kebijakan ini mahasiswa menjadi awam, lebih awam lagi dari masyarakat awam. Menurut data terkini telah menunjukkan sebanyak 400 ribu lulusan sarjana S1 menganggur. Setiap hari mereka berjibaku mengirim lamaran kerja, berdesakan di setiap acara Job Fair sekedar mengambil formulir pendaftaran. Dengan peluh di sekujur tubuh. Dengan wajah kusut dan rasa frustasi.

Hakikat mahasiswa sebagai intelektual muda

Mahasiswa adalah generasi muda yang dimiliki oleh bangsa ini dengan kapasitasnya sebagai seorang intelektual dan kualitas pendidikannya yang memadai harus mampu memberikan konsepsi-konsepsi dan pandangan-pandangan strategis untuk bangsa dan negaranya. Sebagai seorang intelektual, mahasiswa harus membekali diri dengan kekuatan intelektual yang mapan dan kekuatan moral yang baik, sehingga perjuangannya tidak mampu diterpa oleh angin hedonism dan gaya borjuisme yang kapitalistik dan individualistic. Mahasiswa adalah agen perubahan yang melakukan kotrol social terhadap semua kebijakan politik sebuah rezim. Mahasiswa adalah kekuatan moral yang dimana ia harus menjadi benteng terakhir untuk menegakkan nilai-nilai moralitas yang merosot tajam akibat hembusan globalisasi yang sangat kolonialis dan hegemonic ini.

Dengan semangat dan darah muda yang berapi-api itu kaum muda tetap memegang teguh nilai-nilai etika dalam melakukan gerakannya. namun sebuah rezim yang “ketakutan” akan merampas jiwa-jiwa itu dengan system yang tidak sehat, dan kebijakan yang tidak fair, melalui perselingkuhan kekuasaan dengan pihak akademik. Sehingga ketika interupsi dilakukan maka yang berkuasa mengatakan ini adalah mengganggu keamanan dan stabilitas pendidikan dan beribu macam alas an.

Kampus yang sebenarnya harus sebagai pusat laboratorium intelektual dan laboratorium peradaban harus mendidik mahasiswa untuk selalu berpikir rasional, kritis, akademis dan progressif. Namun harapan itu jauh dari cita-cita, karena lahirnya semangat birokratisme yang menjalar begitu cepat dalam dunia kampus yang akhirnya menghegemoni pikiran dan mematikan semangat perjuangan. Maka jadilah kampus itu sebagai sarana komersialisasi kepentingan segelintis elit yang berjiwa oligarkis.

Dinamika seperti ini akan awal mula dari terbentuknya oligarki politik di dalam kampus. Oligarki itu pada awalnya menurut Robbert Michael adalah terbentuk dengan adanya semangat perjuangan dan berujung pada keinginan untuk memiliki kekuasaan menurut selera lama dan membendung semangat demokratis dengan alasan-alasan penertiban. Itu menyebabkan terbentuknya kelompok oligarki yang hanya mementingkan kekuasaan daripada menciptakan kader-kader bangsa dan Negara yang berjiwa kritis dan berkemajuan. 

(Pernah dimuat dalam Koran Harian Amanah Jakarta 2016)

©CIVILISNews

Diterbitkan oleh Pemuda Madani

Corong Pemuda Madani: Literasi Narasi Revolusi

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai