PERUBAHAN DARI KHALIFAH KE KERAJAAN: Telaah Konstitutsional Terhadap Perpecahan Politik Dalam Islam (2)

Sangaji Qan Jurdi
Sangaji Furqan Jurdi

PERUBAHAN DARI KHALIFAH KE KERAJAAN: Telaah Konstitutsional Terhadap Perpecahan Politik Dalam Islam (2)

Oleh: Sangaji Furqan Jurdi

Ada kekeliruan yang dilakukan pada masa Usman bin Affan dan kekeliruan itu, berakibat fatal bagi perkembangan Islam dimasa yang akan datang. Kebijakan yang diterapkan oleh Usman membuatnya merasa lemah menghadapi kerabatnya yang mendesak untuk masuk ke dalam peerintahan, terutama sekali jabatan-jabatan penting dan memberikan kepada mereka keistimewaan-keistimewaan lain yang menyebabkan timbulnya potes-protes dan kritikan rakyat yang secara umum. Kemudian Khalifah Usman memecat Sa’ad bin Abi Waqqas dari pemerintahan Kufah dan mengangkat Al-Walid bin Uqbah bin Mu’aith[1] sebagai gantinya dan Al-Walid adalah saudara seibu dengan Usman. Setelah itu ia mengangkat  pula seorang sanak kerabatnya bernama Sa’id bin Ash. Demikian pula ia memecat Abu Musa al-Asy’ari dari pemerintahan Basrah dan mengangkat putera pamanya yang bernama Abdullah bin Amir sebagai gantinnya. Kemudian ia memecat Amr bin Ash dari pemerintahan Mesir dan menggantikannya dengan saudara sepersusuannya bernama Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Sedangkan Muawiyah mendapatkan kekuasaan yang sangat tinggi, yang sebelumnya di masa Umar ia hanya menduduki posisi sebagai wali Damsyik saja, namun Usman telah mengumpulkan kekuasaan Damsyik, Homs, Yordania dan Libanon, semuanya di tangan Muawiyah. Setelah itu ia mengangkat pula saudara sepupunya Marwan bin Hakam[2] sebagai sekretaris jenderal negara yang menyebabkan kekuasaan dan pengaruhnya meliputi seluruh negeri  dan seisinya. Demikian terkumpulnya kekuasaan ditangan satu keluarga saja.[3]

Akibat dari tindakan-tindakan ini muncul protes keras dari berbagai kalangan, mulai dari kaum awam hingga tokoh penting para sahabat. Sebagai contoh, ketika walid bin Uqbah datang ke Kufah dan ia menghadap Sa’ad bin Abi Waqqas, lalu Sa’ad berkata kepadanya, “Demi Allah, aku tidak tahu apakah anda lebih pintar setelah kami, ataukah kami yang telah menjadi bodoh setelah anda?” Walid kemudian menjawab, “Jangan anda merasa ri sau wahai Abu Ishaq, begitulah kerajaan. Ia menjadi makanan siang bagi suatu kaum dan menjadi makanan malam bagi kaum lainnya.” Maka Sa’ad mengatakan, “Demi Allah, aku melihat kalian akan menjadikan sebagai suatu kerajaan”[4].Meskipun para pejabat-pejabat penting dalam pemerintahan adalah keluarga khalifah namun  tetap menimbulkan oposisi dan kecaman, bahkan banyak alasan-alasan yang timbul dari itu semua yang berkumpul dan berpadu sehingga menjadi dorongan akan timbulnya kekacauan dan kerisauan secara meluas.

Dalam bukunya yang saya kutip di atas Al-Maududi menjelaskan tentang mereka yang diangkat menjadi pemimpin-pemimpin besar kaum muslimin dari keluarga khalifah itu adalah orang-orang yang baru memeluk Islam ketika terjadi pembebasan kota Mekkah dan bahkan mereka adalah orang-orang yang dibebaskan dari tawanan, yang selalu menunjukkan perlawanan terhadap nabi Saw dan Dakwah Islamiyah. Rasulullah telah memaafkan mereka dengan segala kemurahan hati ketika terjadi pembebasan kota Mekah dan kemudian mereka memeluk Islam. Diantaranya adalah Muawiyah, Walid bin Uqbah dan Marwan bin Hakam, termasuk diantara anggota keluarga yang dimaafkan pada waktu pebebasan Makkah itu. Sedangkan Abdullah bin Abi Sarh, ia adalah seorang yang murtad setelah Islamnya, dan ia adalah salah seorang yang diperintahkan oleh Rasulullah ketika pembebasan Kota Mekkah untuk di bunuh meskipun mereka itu berada dalam tirai-tirai Ka’bah. Mendengar hal itu Usman bin Affan cepat-cepat membawanya ke hadapan Rasulullah dan karena itu Rasulullah mengampuninnya, demi menghibur hati Usman semata-mata. Kata Ibnu Hisyam dalam Sirat Sayyidina Muhammad Rasulillah: “Kata mereka bahwa Rasulullah Saw lama sekali terdiam kemudian berkata, Ya. Sesudah Usman pergi ia berkata kepada para sahabat-sahabatnya di sekitarnya: Saya diam supaya ada dari kalian yang tampil memenggal lehernya. Salah seorang dari Anshar berkata: Rasulullah, mengapa tidak memberi isyarat kepada saya? Kata Rasulullah: “Nabi tidak membunuh dengan isyarat”.[5]

Masalah pemecatan para sahabat sudah barang tentu tidak seorangpun dapat menerima pemecatan itu. Karena para sahabat yang dipecat dari kedudukannya adalah orang-orang yang telah lama berjuang dan mengorbankan hidupnya untuk Islam. Kemudian digantikan oleh orang-orang yang bahkan dianggap sangat tidak layak untuk itu, kalau melihat silsilah dari perjalanan hidupnya. Sehingga banyak kaum muslimin yang merasa tidak puas dengan pemerintahan khalifah Usman, diantaranya para prajurit-prajurit Arab di Mesir. Mereka mengutus delegasi untuk menyampaikan keluh-kesah mereka kepada Khalifah.

Walaupun Usman adalah termasuk perintis pertama orang-orang Arab Mekkah yang masuk Islam, namun ia adalah klan Umayyah yang sangat banyak jumlahnya dan sangat berkuasa di kota itu. Meskipun Usman tidak mengikuti fanatisme kesukuan Jahiliyah masa lalu, tapi karena ia sangat pemalu dan tidak bisa sekuat Umar maka banyaklah usulan-usulan dari klan Umayyah yang tidak bisa ditolaknya. Klan Umayyah adalah klan yang menjadi musuh utama nabi, bahkan permusuhan itu sampai detik-detik nabi menghembuskan nafas terakhir. Abu Sofyan misalnya, ia adalah orang yang paling depan menantang nabi, dan ketika nabi membebaskan Mekkah dengan kebijaksanaan diplomatik nabi maka ia masuk islam.

Pada saat kekhalifahan Usman inilah kaum Umayyah melihat kesempatan yang terbuka untuk mengembalikan kedudukan mereka yang baru saja hilang itu. Mereka mengelilingi Usman dengan tokoh-tokoh Umayyah yang handal berpolitik seperti Marwan bin Hakam. Sebagian dari hadirnya penasehat-penasehat baru kalangan Umayyah itu memang karena kebijakan Khalifah Umar, sebab Umar melihat ada kecakapan dalam diri mereka. Akan tetapi tanpa keteguhan hati dan prinsip pemerintahan seperti Umar, Usman menjadi tidak banyak berdaya menghadapi klannya sendiri, dan iapun terjerumus kedalam praktik politik yang nepotis yang mengundang berbagai reaksi keras banyak golongan. Memang Usman melanjutkan kebijakan Umar, tapi ia tidak mempunyai wibawa sehebat yang dimiliki seorang Umar.

Dalam banyak hal Umar lebih unggul daripada Usman di bidang politik pemerintahan. Ini memang sebuah kenyataan sejarah yang tidak bisa kita pungkiri. Dan kebijakan Usman dari segi politik pemerintahan telah menyebabkan terjadinya kesalahan. Dan kata al-Maududi “kesalahan itu adalah kesalahan betapapun ia telah lakukan atau siapa pun juga yang telah melakukannya. Adapun yang mencoba untuk membenarkannya dengan mengada-ngadakan ucapa-ucapan kosong dan sia-sia adalah sesuatu yang tidak dapat diterima oleh akal sehat ataupun rasa keadilan, sebagaimana agama tidak pernah menuntut kita untuk tidak mengakui kesalahan seseorang di antara para sahabat Nabi Saw”.[6] Hal ini tidak boleh kita kesampingkan dari politik pemerintahan yang dilakukan oleh khalifah Usman. Namun kita tidak boleh mencelannya.

Pejabat-pejabat Usman seperti Sa’id bin Ash yang ada di kota Basrah tidak banyak disukai oleh rakyatnya. Sehingga menimbulkan beberapa pemberontakan dan perlawanan untuk melawannya. Dan ketika itu Abu Musa al-Asy’ari menyeru kepada masa rakyat untuk memperbaharui bai’at mereka kepada Usman r.a., merekapun berpaling dari pemimin-pemimpin pemberontak dan bergegas untuk membaiatnya kembali.

Sedangkan Walid bin Uqbah walikota Kufah pun tidak disenangi oleh rakyat, karena kebiasaannya meminum khamar, sehingga menurut riwayat ia pernah sholat subuh empat rakaat dalam keadaan mabuk. Keluhan-keluhan tentang kebiasaan buruk Walid ini sampai pula di kota Madinah. Sehingga banyak orang yang memprotes dengan keras keadaan ini.[7] Usman menerima protes itu dan akan mengadili Walid. Maka diajukanlah Walid di hadapan sekelompok sahabat dengan tuduhan bahwa Walid telah meminum Khamar. Beberapa orang bersaksi pada waktu itu, diantaranya ialah Hamran (bekas budak Usman), Sha’b bin Jutsamah, bahwa Walid dilihatnya memuntahkan khamar. Dan ditambah lagi empat orang saksi yaitu; Abu Zainab, Abu Muwarri, Jundub bin Zuhair dan Sa’ad bin Malik Asy’ari. Mereka semua bersaksi tanpa ragu bahwa Walid telah melakukan tindakan demikan itu. Namun menurut Ibnu Hajar bahwa Walid tidak di hukum karena kesalahannya itu. Sehingga ini menimbulkan sedikit ketidak senangan orang akan pemerintahan Usman.

Di mesir muncul pula ketidakpuasan penduduk mesir terhadap Abdullahh bin Abi Sarh, wakil khalifah di sana, yang sering bertindak sewenang-wenang, dan mereka menuntut agar orang ini di ganti. Bahkan beberapa orang sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, bahkan Aisyah Ummulmukminin, juga mengusulkan agar Abdullah bin Abi Sarh di ganti. Kemudian khalifah Usman meminta mereka untuk mengusulkan penggantinya. Pilihan mereka jatuh pada Muhammad bin Abi Bakar. Sesudah pilihan di setujui, Usman mengangkat Muhammad bin Abi Bakar untuk menjadi wakilnya di Mesir. Tetapi dengan adanya permainan kotor dari Marwan bin Hakam, sebagai calon gubernur untuk Mesir ia tersingkir. Ini merupakan perbuatan keji pertama yang menodai sejarah Islam dan akan membawa akibat jauh terjadinya tindakan kekerasan pertama dalam politik Islam.

 

Catatan Kaki

[1] Al-Walid adalah termasuk salah satu orang yang memeluk Islam setelah penaklukkan Mekkah. Pernah diperintahkan oleh Rasulullah untuk mengumpulkan zakat dan sedekah Bani Mustalaq, namun setelah ia sampai ke daerah yang dihuni oleh kabilah ini, karena suatu sebab, ia menjadi takut, kemudian segera kembali ke Kota Madinah, tanpa berhadapan muka dengan mereka dan ia berkata: “Bani Mustalaq telah menolak membayarkan zakat mereka dan hampir-hampir mereka membunih aku!” mendengar itu Rasulullah menjadi marah dan segera menugutus pasukan kaum muslimin guna memerangi mereka. Hampir-hampir saja terjadi peristiwa pertumpahan darah yang besar sekiranya pemimpin-pemimpin Bani Mustalaq tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya, lalu cepat-cepa mereka datang ke kota Madinah dan menyatakan bahwa “orang ini (yakni Walid) tidak pernah datang ke tempat kami, dan sesungguhnya kami sedang menunggu kedatangan seorang utusan Rasulullah untuk mengumpulkan zakat-zakat kami”. Dalam persoalan inilah menurut para Ulama yang menyebabkan turunnya Surah Al-Hujurat: 6. Lihat juga dalam Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hal. 143

[2] Usman telah memberikan seperlima dari hasil rampasan perang Afrika sebanyak 500 ribu dinar kepada Marwan.  Hasil rampasan perang yang diperoleh dari afrika sesudah mendapatkan kemenangan diplomasi dengan masyarakat Afrika. Menurut riwayat ibnu Atsir (lihat juga dalam Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, lihat dalam catatan kaki hal. 137 dan Muhammad Husein Haikal, Utsman bin Affan: Antara Kekhalifahan dan Kerajaan hal. 80) mengatakan bahwa Seperlima hasil rampasan perang yang dibawa ke Madinah itu dibeli oleh Marwan bin Hakam dengan harga 500 ribu dinar dan Usman menyerahkan itu kepadanya. Namun kemudian Usman membebaskannya dari pembayaran jumlah tersebut. Ini menyebabkan kritikan pedas terhadap diri Usman.

Marwan adalah anaknya Hakam bin Abil-‘Ash adalah paman Usman bin Affan, yang memeluk Islam setelah penaklukkan Mekkah, kemudian ia datang ke Madinah dan menetap di sana. Namun Rasulullah mengusirnya dari kota Madinah setelah timbul beberapa hal dari dirinya, lalu Rasulullah memerintahkan agar Hakam pergi tinggal di kota Thaif. Menurut riwayat Ibnu Abdil Bar dalam bukunya al-Isti’ab, bahwa sebab pertama tindakan Rasulullah saw itu adalah karena Hakam sering membocorkan rahasia perundingan-perundingan Rahasia antara Rasulullah dan para sahabat dan yang di dengarnya dari salah satu cara. Sebab lain ialah bahwa ia sering meniru-niru gerak-gerik Rasulullah, sehingga suatu hari Rasulullah pernah melihatnya bertindak demikian.

[3] Abul A’la Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hal. 138. Dalam hal ini saya tidak meragukan keahlian ataupun kemampuan-kemampuan para keluarga Khalifah dalam melakukan ekspansi militer. Banyak diantara mereka menjadi penakluk-penakluk negeri melalui tangan mereka. Akan tetapi kemampuan seperti itu tidak saja dimiliki oleh kaum Umayyah, namun masih banyak para sahabat-sahabat yang bahkan lebih mampu dari mereka dalam hal ini, bahkan yang lebih berjasa dalam Islam.

[4] Al-Maududi, Ibid, hal. 139

[5] Lihat Ibnu Hikam dalam Haikal, Utsman bin Affan: Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan, hal. 42-43

[6] Al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hal. 148

[7] Misalnya protes yang datang dari Miswar bin Mahramah dan Abdurrahman bin Aswad yang merasa geram dengan tindakan itu berkata kepada Ubaidullah bin Adiy bin Khiyar, kemenakan Usman : “pergilah dan katakan kepada pamanmu bahwa rakyat memprotes dengan keras tindakan saudaramu Walid bin Uqbah dengan protes yang keras!

©CIVILISNews

Diterbitkan oleh Pemuda Madani

Corong Pemuda Madani: Literasi Narasi Revolusi

Satu pendapat untuk “PERUBAHAN DARI KHALIFAH KE KERAJAAN: Telaah Konstitutsional Terhadap Perpecahan Politik Dalam Islam (2)

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai