
Oleh : Furqan Jurdi*
Masyumi : Natsir Vs Soekarno
Hari Rabu Tanggal 19 Juli 2017 Hizbut Tahrir Indonesia dibubarkan oleh pemerintah, secara formal saya belum membaca draft keputusan itu. Meskipun saya belum melihat surat keputusan Pemerintah tersebut, serta pertimbangan Pemerintah dalam mengambil keputusan tersebut, saya melihat ada kecenderungan kuat bahwa dengan keputusan itu adalah merupakan bentuk dari langkah kesewenang-wenangan Pemerintah. Dalam konteks negara demokrasi yang berlandaskan hukum, HTI harus mengambil langkah Hukum, dan memperkarakan keputusan ini di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), langkah itu dibuka lebar bagi HTI.
Terlepas dari itu semua, saya ingin mengutip satu statemen Mantan Ketua Umum Masyumi M. Natsir ketika menanggapi sebuah pernyataan Presiden Soekarno setelah bermimpi di Sianghai. Soekarno mengatakan “lha mboknya, kata orang jawa, suatu saat semua pentolan-pentolan partai ini akan diajak duduk bersama, dan kita akan bersama menguburkan partai-partai. Ya… menguburkan partai-partai”. Kata Soekarno dalam pidatonya tanggal 28 Oktober 1958 dalam acara hari Sumpah Pemuda di Istana negara.
Orang masih menunggu apa yang dimaksud dengan ucapan Presiden itu, maka M. Natsir yang pertama-tama memberikan tanggapan. Dalam Review di Koran Abadi, 30 Oktober 1956, Natsir mengatakan bahwa nampaknya presiden mulai merasa banyak hal yang tidak memuaskan. Rupa-rupanya, sebab-musabab dari semua yang tidak memuaskan itu adalah partai-partai. Maka Natsir menjelaskan pendirian demokrasinya, bahwa semasih demokrasi itu ada maka partai politik harus ada, dan apabila partai politik dikubur, demokrasi pun turut pula, yang tinggal berdiri diatas kuburan itu diktatur. Kata Natsir.
Peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah muncul pertentangan politik yang tajam dalam tubuh bangsa Indonesia. Soekarno yang dari awal menginginkan adanya unsur PKI dalam Kabinet dan penolakan keras Masyumi menjadi pertentangan yang tiada habis-habisnya. Ditambah lagi jatuh bangunnya kabinet yang tidak menentu, kabinet hanya mampu bertahan paling lama satu tahun, sementara kabinet Ali hanya delapan bulan.
Ternyata pergolakan politik itu menurut soekarno adalah sebab-musababnya adalah demokrasi dan kebebasan berkumpul, berserikat dan berpendapat. Setelah pulang Lawatan dari Cekoslovakia, mongoalia, RRC, dan Uni Soviet, soekarno telah bermimpi di Sianghai, mimpi itu iaalah menguburkan demokrasi.
Kemudian Masyumi menarik menterinya dari kabinet karena pertentangan tajam dengan Soekarno dan Ali yang ingin menanggapi pergolakan yang terjadi di daerah-daerah dengan cara kekerasan. Menurut natsir langkah itu tidak boleh dilakukan, harus diambil langkah persuasif.
Namun Kabinet Ali tidak mampu bertahan lagi untuk memimpin, karena Masyumi keluar dari Kabinet, maka pada tanggal 14 Maret 1957 Ali mengembalikan mandar kepada Soekarno dan diterima dengan baik. Pada saat pengembalian mandate itu sejumlah pemimpin militer yang hadir untuk mendesak Ali supaya menandatangani pernyataan keadaan bahaya “Staat van oorlog en beleg” (SOB). Dengan berat hati Ali menandatangani.
Penandatangan kondisi darurat atau state of emergency itu dipertanyakan keabsahannya. Natsir kembali muncul untuk menanggapi itu, Natsir mempertanyakannya, karena tidak bisa seorang Perdana menteri Demisioner menandatangani penyataan kondisi Darurat Negara. Dan tidak cukup alasan menurut Natsir untuk menyatakan SOB, karena keadaan pemerintahan di ibukota masih-aman saja.
Tetapi orang seperti Soekarno, Nasution, dan Suryadharma mengerti betul apa yang dimaksud SOB itu. Berarti kebebasan politik dan pers di bungkam, rapat umum dilarang, dalam keadaan yang demikian tersedialah jalan mulus bagi bagi Soekarno dengan dukungan penuk pihak militer untuk menjalankan kemauannya dalam konsepsi itu.
Konsistensi Natsir dalam mengkritik Pemerintah itu, dianggap sebagai seorang yang Kontra Revolusioner. Akhirnya Natsir dituduh sebagai antek asing dan antek amerika oleh Koran Harian Rakyat Corongnya PKI. Kemudian Natsir diteror dengan teror yang begitu sangat luar biasa. Karena tidak tahan teror, maka Natsir melaporkan kepada Kepolisian, dan polisi juga tidak mengambil tindakan apa-apa. Menyadari dirinya dalam ancaman akhirnya natsir diam-diam meninggalkan Jakarta menuju Sumatera. Itulah yang dialami oleh tokoh tokoh masyumi di masa lalu dan akhirnya dituduh sebagai “pengkhianat bangsa”. Setelah tokoh-tokoh masyumi dituduh sebagai otak pemberontakan PRRI dan Permesta, Maka pada Hari Rabu tanggal 17 Agustus 1960 melalui Keppres 200 tahun 1960 Masyumi di bubarkan, dan akhirnya slogan “pro-revolusi” dan “anti-revolusi” menjadi bahan pemerintah untuk membunuh lawan politiknya, dan yang berdiri adalah kediktatoran demokrasi terpimpin, melalu slogan Manipol Usdek.
Namun apa yang ditakutkan oleh Natsir itu benar terjadi. Tentang PKI yang memberontak itu, tidak ada sedikitpun yang meleset dari prediksi tokoh-tokoh Masyumi pada tahun 1950-an itu. Jadi bisa saja ini adalah sejarah yang terulang kembali.
HTI: Yusril Vs Jokowi
Jokowi dan JK dilantik menjadi Presiden dan Wakil Preisden di Gedung DPR/MPR, Jakarta pada tanggal 20 Oktober 2014. Semenjak pelantikan itu, muncul beberapa pergolakan politik akibat kebijakan-kebijakan presiden yang tidak bisa diterima, baik secara hukum maupun pelaksaannya. Namun yang paling konsisten dalam mengambil jalan oposisi terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai sebagai tindakan yang bertetangan dengan Konstitusi adal Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH. M.Sc. (Ketua Umum Partai Bulan Bintang)
Yang berkaitan dengan demokrasi saya hanya ingin mengambil satu peristiwa hukum sekaligus peritiwa politik tentang pembubaran ormas HTI dan keluarnya Perppu yang tidak memenuhi kriteria negara dalam situasi staat van oorlog en beleg (SOB). Pentingnya tentang terbitnya Perppu Organisasi Masyarakat Nomor 2 Tahun 2017 ini menyangkut masalah demokrasi dan kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, baik secara liasan maupun tertulis yang dijamin oleh konstitusi menurut pasal 28 UUD 1945.
Kita harus jujur bahwa keadaan politik negeri ini semakin mencekam, disebabkan sikap pemerintah yang semakin hari, semakin menunjukkan keangkuhannya. Kalau bisa dikatakan, bahwa Perppu itu adalah simbol awal dari menuju kediktatoran penguasa yang ingin membunuh demokrasi. Keluarnya Perppu itu tidak bisa dipungkiri adalah karena adanya konsolidasi kekuatan-kekuatan Ormas Islam yang massif, dan itu terlihat ketika aksi dalam umat Islam beberapa kali dalam menuntut penista agama.
Munculnya Perppu itu dimulai dengan satu agenda politik yang massif, yaitu dibuatnya suatu dikatomi antara yang “pro-pancasila” dengan yang “anti-Pancasila”. Adanya stigmatisasi itu sebagai bahan propaganda politik untuk “merusak citra” organisasi yang berpegang pada landasan agama. Setelah itu, Presiden Jokowi mengeluarkan statemen untuk membubarkan organisasi yang anti pancasila menurut versi pemerintah. Pidato itu dikeluarkan setelah ia selesai lawatan ke negeri-negeri komunis, seperti Cina dan Rusia.
Dalam konteks ini menurut pemerintah pergolakan yang terjadi dalam negara republik Indonesia adalah disebabkan adanya ormas-ormas yang dikata oleh pemerintah sebagai yang anti-pancasila. Sementara sikap pemerintah yang kelihatan terang benderang bertentangan dengan pancasila, tidak disadari telah menimbulkan banyak pergolakan. Sikap represif pemerintah memalui aparat kepolisian, melakukan penangkapan dan berbagai macam tuduhan makar juga adalah penyebabnya. Dan Yusril hadir untuk membela mereka yang didzolimi ini. Ternyata dalam kecamata rezim Jokowi nampaknya melihat gelagak bahwa ormas itu adalah merusak persatuan dan kesatuan, tapi tidak melihat kensenjangan sosial dan tidak-adilan penguasa sebagai hal yang penting harus dibenahi, karena persoalan keadilan dan kesejahteraan menjadi penyebab segalanya. Beberapa kali Yusril mengingatkan ini kepada pemerintah, namun pemerintah tidak mau mendengar itu.
Untuk memulai lonceng kematian demokrasi itu, Pemerintah melalui MENKOPOLHUKAM Wiranto mengeluarkan statemen untuk membubarkan Ormas Islam HTI. Statemen itu mendapat tanggapan yang sangat serius dari phak HTI dan masyarakat. Yusril Ihza Mahendra memberikan tanggapan yang sangat keras, karena Yusril menilai bahwa sikap pemerintah itu adalah sikap yang diktator. Menurutnya membubarkan ormas tidak boleh dengan pernyataan sepihak, namun harus dengan mekanisme UU. Ada UU tentang keormasan nomor 17 tahun 2013. Dalam kondisi yang demikian Yusril siap menjadi Pengacara HTI dan melawan secara hukum tindakan sewenang-wenangan pemerintah dalam negara hukum ini.
Kritikanpun muncul secara sistematik. Pemerintah kalah dalam membangun opini, akhirnya diam-diam mengeluarkan Perppu Ormas nomor 2 tahun 2017 untuk mengganti UU ormas tahun 2013. Yusril yang dari awal sudah fight untuk membela ormas Islam menanggapi itu dengan statemen, bahwa ini adalah Perppu yang lebih kejam daripada zaman Hindia belanda, Orde lama dan Orde baru. Kekejaman perpu menurut Yursil terlihat dari pasal-pasal yang mengatur tentang pembubaran ormas dan ketentuan pidana bagi anggota ormas yang dibubarkan. Dan alasan pembubaran itu adalah ormas tersebut bertentangan dengan pancasila. Penafsiran sepihak inilah yang ditentang oleh Yusril, karena menurutnya setiap zaman pemerintah telah menafsirkan pancasila itu sesuai selera kekuasaannya.
Selain dari itu, pembubaran Ormas ini dinilai sangat tidak beralasan, begitu pula dengan keluarnya Perppu, Karena keadaan yang dikatakan sebagai kegentingan yang memaksa tidak terpenuhi. Yusril mempertanyakan hal ihwal kegentingan yang memaksa itu, dari segi hukum dan sosiologisnya. Karena negara masih dalam keadaan aman-aman saja. Walaupun begitu kekuasaan tetap bersikeras, disebabkan tuli dan kepala batu untuk memaksakan kehendaknya. Akhirnya hari Rabu tanggal 19 juli tahun 2017, pemerintah membubarkan HTI dengan mendasar pada Perppu nomor 2 tahun 2017. Pembubaran ini dirasa cukup mengejutkan.
Komitmen Yusril dalam melakukan perlawanan secara hukum ini mengingatkan kita pada komitmen Natsir dalam mewujudkan Indonesia yang demokratis dan benar. Dan keinginan natsir itu dilawan oleh Rezim Orde lama, meskipun itu pada akhirnya Natsirlah yang benar. Begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh Yusril Ihza mahendra sekarang ini.
Oleh sebab itu kedzaliman ini harus dilawan dengan langkah yang rasional dan tepat. Karena kekuasaan tidak akan bertahan lama tapi kebenaran akan tetap berdiri tegak. Saya sepenuhnya mendukung langkah Yusril untuk membela Demokrasi ini, karena ini bukan persoalan perpecahan, ini adalah perdebatan ideologis yang sejak awal berdirinya negara ini sudah menjadi bahan perdebatan oleh semua kalangan. Jadi penafsiran pemerintah terhadap Pancasila sudah mengulangi penafsiran Orde lama, dan Orde baru, ini tidak bisa dibiarkan.
Wallahualam bis shawab.
*Penulis adalah Presidium Nasional Jaringan Islam Nusantara, dan Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
