
Oleh Harmoko M. Said*
Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016“ tetang pemilihan Gubernur wakil gubernur, Bupti Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terkadang menguntungkan” terkadang juga Menjadi polemik ditengah kehidupan sosial baik dikalangan aktifis maupun dikalangan masyarakat pada umunya. Hal yang paling menonjol di diskusikan atau menjadi sorotan publik adalah proses penyelesaian pelanggaran pemilu.
Dalam undangan-undang pemilihan maupun perbawaslu nomor 14 tahun 2017 bahwa Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk menerima, memeriksa, mengkaji dan memutus pelanggaran Pemilu.
Namun pada sisi lain terdapat juga banyak kekurangan dalam perbawaslu no 14 tahun 2017 sebagai dasar bagi bawaslu dalam rangka menyelesaikan pelanggaran pemilihan.
Kelemahan-keleman dalam undang-undang pemilu maupun perbawaslu adalah sebagai berikut :
1. Keterbatasan waktu
Menangani pelanggaran pemilihan sudah diatur dalam perbawaslu no 14 tahun 2017 batas waktu penanganan pelanggaran pemilihan. Dengan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh bawaslu sehingga proses penyelesaian pelanggaran pemilihan tidak maksimal.
2. Dalam hal adanya dungaan pelanggaran baik itu temuan maupun laporan ada beberapa pihak yang harus di undang untuk di klarifikasi sebagaimana di atur dalam perbawaslu no 14 tahun 2017 pasa.
Ketika para pihak atau salah satu pihak entah itu pelapor, terlapor atau saksi tidak menghadiri undangan ferivikasi tersebut. Disinilah salah satu kelemahanya, bahwa undangan klarifikasi itu hanya sebatas undangan tidak ada daya paksa sebagaimana undangan polisi apabila tidak menghadiri maka akan di jemput paksa.
Dari dua poin yang di bahas di atas sangat berpengaruh pada proses penyelesaian pelanggaran pemilihan dan bawaslu harus lebih fokus dan intensif dalam menyelesaian pelanggaran itu, dengan mekanisme yang diatur dalam UU maupun peraturan di bawahnya (Perbawaslu)
Panwaslu kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk meminnta klarifikasi, namun ketika pihak yang ingin di klarifikasi itu tidak menghadiri atau mangkir dari undangan klarifikasi, Maka panwaslu tidak memiliki daya paksa untuk menjemput orang, karena itu bukan kewenangannya, itu hanya diatur untuk beberapa lembaga negara, seperti aparat penegak hukum lainnya.
Didalam perbawaslu no 14 tahun 2017 tentang penanganan pelanggaran pemilihan gubernur wakil gubernur, bupati wakil bupati, walikota dan wakil walikota, dalam hal terjadi dugaan pelanggaran pemilihan juga tidak memberikan titik tekan pada para pihak yang di undangan untuk diklrifikasi dan kalau pihak itu tidak hadir maka tidak akan menemukan hasil.
Sebab undangan klarifikasi itu sebatas undangan, Jadi tdak punya daya paksa. Disitulah kelemahan yg sengaja dibuat. Tidak seperti tidak menghadiri panggilan polisi. Yg punya panggilan paksa.
Berangkat dari peristiwa ini dalam undang-undang pemilu, perbawaslu ketika pihak yang ingin di klarifikasi tidak hadir, apakah masalah ini akan di anggap selesai karna dalam undang-undang tidak ada langkah alternatif yang harus dilakukan oleh panwaslu dan apakah peristiwa ini dianggap selesai.
Disinilah terjadi satu dilema bagi bawaslu, panwaslu kab/kota dan panwascam untuk menindak pelaku pelanggar pemilu. Hal ini adalah kekosongan hukum dalam undang-undang pemilu yang tidak mengatur lebih lanjut tentang upaya Bawaslu dan seluruh jajarannya untuk menekan seminimal mungkin terjadinya pelanggaran pemilu.
*Harmoko M. Said adalah Ketua Cabang IMM Bima Periode 2016-2017
©CivilInstitute
