“Tersangka atau terdakwa sebagai subyek, kesalahan sebagai obyek
Sebuah telaah Asas Presumtion Of Innocent”

Oleh : Harmoko M.Said*
Sangat di sayangkan ada banyak peristiwa yang terjadi di negeri ini baik dari pusat maupun daerah yang masih main hakim sendiri, terkadang lewat media sosial orang mengatakan kata-kata yang mengarahkan bahwa seolah-olah orang yang melakukan peristiwa itu bersalah, padahal yang menentukan salah dan benar seseorang itu adalah hakim yang mempunyai kewenangan untuk mengadili dan memutuskan orang itu bersalah atau tidak. Sebelum orang dinyatakan bersalah oleh hakim, dalam setiap jenjang pemeriksaan berlaku baginya asas praduga tidak bersalah (Presumtion Of Innocent).
Asas praduga tidak bersalah (Presumtion Of Innocent) adalah suatu perbuatan dianggap belum dikatakan bersalah sebelum ada keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (ingkrah).
Selama sutua peristiwa masih dalam proses penyelidikan, penuntutan dan atau tahap persidangan, baik itu di Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), maupun Mahkama Agung (MA) belum dapat dikatan bersalah terkecuali peristiwa itu sudah diputuskan oleh hakim dan punya kekuatan hukum tetap (ingkrah). Asas praduga tidak bersalah telah dirumuskan dalam undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman nomor 48 tahun 2009 dan undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi “setiap orang yang sudah disangka,ditangkap,ditahan,di tuntut, dan atau dihadapkan dimuka persidangan pengadilan, wajib dianggap tak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang mengatakan keslahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”, sedangkan dalam KUHAP butir 3 huruf c berbunyi “setiap orang yang disangka,ditangkap,ditahan,dituntut dan atau dihadapkan di muka persidangan pengadilan, wajib tidak dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Asas praduga tak bersalah kalau dilihat pada tehnik yuridisnya atau segi penyidikan dinamakan prinsip akusator. Prinsip akusator menempatkan posisi tersngka atau terdakwa dalam setiap level pemeriksaan sebagai subyek bukan sebagai obyek, namun yang menjado obyek nya adalah kesalahan itu sendiri.
Secara teoritis hak tersangka atau terdakwa sudah setaraf dengan polisi,kejaksaan dan hakim yang memeriksanya dalam kedudukan hukum. Penegak hukum berhak menuntut perlakukanya sebagaimana digariskan dalam kitab undang-undang hukum acara pidana sebagaimana di jelaskan dalam pasal 50 ayat 1, ayat 2 dan pasal 51 ayat 1 dan 2.
Menurut M. Yahya harapan, asas praduga tak bersalah yaitu setiap orang harus dianggap tah bersalah sebagai hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap tersangka atau terdakwa, sampai kesalahanya dapat dibuktikan dalam persidangan. Hak asasi manusia inilah yang menjadi prinsip dalam penegakan hukum yang diamantkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Sewalaupun kita sadari bahwa dalam kenyataannya hak-hak tersangka,terdakwa belum sepenuhnya di terapkan dalam proses penegakan hukum dewasa ini, lebih cenderung penegak hukum dan masyarak menghukumi seorang sewalaupun belum ada keputusan yang berkekutan hukum tetap.
Dalam hukum pidana bukan saja hak-hak korban yang harus di lindungi tapi hak-hak tersangka juga harus di lindungi, kenapa demikian karna dalam diri tersangka atau terdakwa berlaku asas praduga tak bersalah (Presumtion Of Innocent) dan sebagai manusi melekat hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun.
*Penulis Adalah Ketua Cabang IMM Bima Periode 2016-2017
©CivilInstitute
