Zero Tolerance, Persandirwaraan dan Kejahatan Dalam Pemberantasan Korupsi

Furqan Jurdi
Furqan Jurdi (Ketua Umum Komunitas Pemuda Madani)

Oleh: Furqan Jurdi*

Dalam perjalanannya, dari tahun 2002 sampai hari ini, KPK mengalami kemajuan yang tidak signifikan, karena banyak hal dan kendala yang menjadi persoalan dalam tubuh KPK, baik itu yang datang dari eksternal maupun internal KPK sendiri.

Semenjak KPK dibentuk seakan-akan transisi korupsi itu tidak ada akhirnya dalam perjalanan kehidupan bangsa ini, bahkan ada anggapan bahwa setelah terbentuk KPK korupsi semakin mewabah, menciptakan keributan yang tiada henti-hentinya, saban hari korupsi menjadi perbincangan utama para elit-elit politik bangsa ini. Tidak adakah pencegahan yang dilakukan KPK dalam mengawal uang-uang negara?

Cara kerja itu, berkali-kali ditegur oleh beberapa pihak, namun KPK hanya mengandalkan “dukungan” dari “mereka” yang “berkompromi” dengan KPK. Dengan media dan melalui opini, dan menyulutkan emosi massa, namun kritik yang dating dari orang-orang yang menginginkan KPK untuk berada di “jalan yang benar” seakan-akan hanyalah suara para “koruptor” atau “pendukung koruptor” sehingga seakan-akan KPK lah satu-satunnya lembaga yang ada di Indonesia yang bersih, bebas, tanpa kritik.

KPK lupa bahwa ia lahir untuk menjawab persoalan korupsi yang terjadi setelah reformasi, ia dijuluki sebagai “anak kandung” reformasi, tetapi akibat cara kerja yang sangat tidak menjunjung tinggi hukum itu KPK menjadi “anak haram” reformasi.

Cara pemberantasan Korupsi di KPK seperti mitos melawan fakta. KPK bertahan dalam mitos bahwa korupsi semakin ‘ganas’ dan susah untuk dideteksi, tapi faktanya kasus transaksi fantastis di atas meja KPK yang dianggap sebagai fakta dan data hukum yang kuat sebagai dasar mendalami keterlibatan petinggi penegak hukum sepertnya menjadi mitos bagi KPK.

Skandal Buku Merah Ditoleransi

Ada kasus besar di atas menja KPK, dugaan transaksi fantastis antara pengusaha dan penegak hukim. Kasus itu disebut sebagai Skandal buku merah, yang melibatkan petinggi penegak hukum.

Kasus ini membuat Ketua KPK Agus Rahadjo harus meralat pernyataan dengan pernyataan yang kontradiktif. Pernyataan kontradiktif itumemperlihatkan bahwa KPK tidak berdaya dalam mengungkapkan Kasus Korupsi yang diduga melibatkan pihak penegak hukum.

Disaat yang bersamaan KPK selalu mengkampanyekan Zero tolerance bagi korupsi. Dengan skandal buku merah ini, zero tolerans hanya sebatas isapan jempol belaka. Kata tidak ada toleransi hanya berlaku bagi ‘maling-maling’ 10 – 100 juta. Sedangkan maling yang menjadi kewenangan KPK, dimulai 1 Milyar, tidak berlaku kata “tidak ada toleransi”, malah diberikan toleransi

Tidak ada toleransi sepertinya menghasilkan penegakan hukum yang tebang pilih. Zero tolerans diperuntukkan bagi ‘pasien’ korupsi yang masih kecil angkanya, sedangkan yang menyentuh kerugian negara yang besar diberikan toleransi, bahkan hanya dengan mengembalikan kerugian negara, semua selesai. Kepada korupsi kecil KPK kelihatan ganas dan berani.

KPK menjadi semacam lembaga tempat orang yang ‘tersandera’, dan tempat untuk ‘menyandera’ orang. Karena kita lihat kasus besar yang melibatkan aparat penegak hukum dengan transaksi yang begitu luar biasa diacuhkan begitu saja.

Dengan sikap KPK seperti ini, jangan harap kita bisa melihat hukum ini ditegakkan sepenuhnya, malah hanya semacam ‘persandiwaraan politik’ di gelanggang hukum.

Zero Tolerance hanyalah yel-yel pemberantasan korupsi yang selama ini disuarakan oleh KPK. Setelah mengatakan Yel-yel itu oknum-oknum di KPK menganggap korupsi sudah di atasi. Pikiran dangkal ini bertahan dan menjadi bagian dari kegagalan kita membarantas korupsi .

Perfect Crime

Istilah perfect crime ini bukan melontarkan tuduhan kepada KPK atau orang-orang yang mengisi KPK selama ini. Perfect Crime itu muncul apabila ada singgungan antara kepentingan penegak hukum dengan hukum itu sendiri. adanya sebuah paradoks penegakan hukum yang bersinggungan langsung dengan persoalan hukum. Sehingga tujuan penegakkan hukum tidak lagi sampai pada tujuannya melainkan dijadikan alat untuk melindungi diri sendiri.

Hal inilah yang harus kita hindari dalam penegakan hukum di KPK, sebab apabila penegakan hukum menggunakan hukum untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu, maka yang kita lihat adalah kerusakan hukum itu sendiri. Dalam konteks ini keberadaan KPK sebagai lembaga yang diharapkan menjadi salah satu pioneer pemberantasan korupsi, harus bersih dari oknum-oknum yang memanfaatkan hukum seperti ini.

Ada oknum yang menggunakan hukum untuk menyandera yang lainnya, adapula oknum penegak hukum menggunakan hukum untuk melindungi dirinya. Maka kegunaan hukum untuk mewujudkan keadilan berhenti pada kehendak penegak hukim itu sendiri. Apabila hal itu terjadil Maka hukumpun di gunakan untuk kejahatan dan kejahatannya sempurna.

*Penulis Adalah Ketua Umum Komunitas Pemuda Madani & Penulis Buku Festival Pemberantasan Korupsi

©civilinstitute.law.blog

Diterbitkan oleh Pemuda Madani

Corong Pemuda Madani: Literasi Narasi Revolusi

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai