KPK Mengabaikan Amanat Undang-Undang

Oleh: Furqan Jurdi*

Civilinstitute – Jakarta. Yang dimaksud dengan amanat UU Kepada KPK adalah amanat UU Nomor 30 Tahun 2002 yang memberikan tugas dan wewenang kepada KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam Ketentuan Umum UU terdapat harapan kepada KPK sebagai sebuah lembaga independen dengan tugas khusus untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Harapan itu lahir disebabkan karena lembaga pemerintahan seperti kepolisian dan kejaksaan belum berfungsi secara efektif dan efisien untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meningkatkan profesionalitas, intensif, dan berkesinambungan penanganan kejahatan korupsi. Sebab, korupsi telah banyak merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.

Untuk melaksanakan tugas itu, sesuai pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002 diberikanlah kewenangan kepada KPK untuk melakukan Koordinasi; supervisi; penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; pencegahan; dan monitoring. Khususnya dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK hanya boleh menindaklanjuti Korupsi yang: a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b)mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dari rumusan pasal diatas, dapat dimengerti bahwa, dalam menindaklanjuti korupsi yang menjadi laporan Masyarakat, atau menjadi perhatian umum, atau merugikan negara dan perekoniamn negara, KPK harus memenuhi kriteria menurut ketentuan pasal 11 UU 30 tahun 2002. Dengan kata lain, tidak semua korupsi bisa ditangani oleh KPK, karena tugas dan kewenangannya yang terbatas, serta personilnya yang ‘sedikit’ serta fokusnya hanya pada korupsi yang melibat aparat penegak hukum atau dengan korupsi aparat penegak hukum.

Tujuan dari spesifikasi tugas dan kewenangan KPK tersebut adalah untuk mengoptimalkan pemberantasan korupsi yang selama ini masih terbengkalai. Namun selama KPK berdiri sejak tahun 2002 sampai hari ini masih banyak persoalan korupsi yang sepenuhnya merugikan Negara dalam jumlah yang besar tidak bisa dituntaskan oleh KPK.

Kalau kita mau merujuk pada korupsi Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuidasi Bank Indonesia, Kasus Century, Kasus Korupsi Dana Haji 2011-2013, Kasus Suap Kementerian ESDM 2013, Kasus Proyek Hambalang, Kasus PON Riau 2012, Kasus Wisma Atlet Palembang, Kasus Pelindo II, Kasus Korupsi Pesawat Garuda 2005-2014, Korupsi Pajak yang melibatkan ketua BPK, Kasus Korupsi Alkes Banten, Kasus Suap Reklamasi, Kasus Korupsi Sumber Waras.

Itulah daftar-daftar kasus yang melibatkan pejabat Negara atau pihak yang terkait dengan korupsi pejabat Negara, yang merugikan Negara diatas seratus milyar, tapi masih belum dituntaskan oleh KPK. Seakan-akan KPK tidak berdaya menghadapi kasus-kasus ini, dan tersandera dengan kasus-kasus besar ini. Bahkan bisa dikatakan Nyali KPK ‘terciut’ ketika ditagih tentang kasus-kasus tersebut, dan ini merupakan amanah UU untuk KPK yang diingkari.

Munculnya Kasus Baru

Tidak hanya kasus-kasus besar disebutkan di atas, ada pula muncul kasus baru, yaitu meminjam istilah mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ‘Tsunami dari ‘Indonesian Leaks’ yang merilis hasil investigasinya tentang transaksi yang mencurigakan antara pengusaha dan penegak hukum yang berkaitan korupsi impor daging, yang telah memvonis Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar dan menetapkan Basuki Hariman sebagai terdakwa Korupsi.

‘Tsunami ‘Indonesia Leaks’ menghebohkan jagat media Indonesia. Pasalnya ‘Indonesian Leaks’ merilis secara detail hasil investigasi, termasuk dugaan perusakan barang bukti, berupa buku merah yang menjadi bukti transaksi dugaan tindak pidana korupsi.

Yang membuat keran adalah tanggapan ketua KPK, Agus Rahardjo yang tidak konsisten mengenai isu tersebut. Terjadilah argumentasi kontradiktif, Agus Rahardjo vs Agus Rahardjo yang membuat bingung banyak orang. Ini membuktikan bahwa KPK belum sepenuhnya memiliki ‘nyali’ terhadap korupsi ‘kelas berat’ yang melibat petinggi penegak hukum dan elit politik.

Tidak hanya itu, munculnya kasus korupsi terkait penerimaan hadiah atau janji yang berkaitan dengan usulan dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN tahun Anggaran 2018. Korupsi ini melibatkan pihak pemerintah daerah dan Anggota DPR RI, bahkan diisukan salah satu ketua Umum Partai menerima hadiah atau janji tersebut.

Namun penanganannya KPK hanya menetapkan beberapa orang tersangka termasuk diantaranya adalah Anggota DPR RI, Pejabat Kementerian, Direktur CV, dan Pihak Swasta. Namun beberapa nama yang disorot, dan diduga mengatur permainan Anggaran di Badan Anggaran, masih dalam tahap proses sebagai saksi. Dan Kita berhadap KPK bisa membuka keseluruhan dari persekongkolan di Badan Anggaran DPR RI terkait dengan dugaan korupsi tersebut. Jangan sampai ini menjadi kegagalan KPK yang berulang-ulang kali tidak mampu menuntaskan kasus korupsi tersebut.

Sikap KPK Pada Kasus Korupsi

Tekad KPK dalam memberantas korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 patut kita pertanyakan. Karena yang kita lihat KPK hanya mengandalkan Operasi Tangkap Tangan yang jumlah korupsinya masih merupakan korupsi ‘kelas ringan’ dan itu bisa dikoordinasikan dengan penegak hukum lainnya yang punya kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap perkara korupsi seperti Jaksa dan POlisi.

Sebab tidak semua kasus Korupsi bisa ditangani oleh KPK, karena dengan tugas dan kewenangan yang terbatas serta personilnya yang sedikit, tidak memungkinkan KPK mengambil keseluruhan dari kasus korupsi yang berada di bawah satu milyar. oleh sebab itu khusus kasus suap yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan jumlah yang kecil sebenarnya KPK bisa limpahkan kepada jaksa atau polisi sehingga kasus korupsi yang besar bisa KPK tuntaskan.

Namun kelihatannya KPK sangat ‘sangar’ ketika berhadapan dengan kasus yang melibatkan pejabat yang ‘tidak berdaya’ di hadapan KPK, namun ‘lunak’ bahkan KPK menjadi ‘juru bicara’ atau ‘pembela bagi yang memiliki power meskipun korupsi. Salah satu contohnya yang paling konkrit adalah skandal buku merah, yang dugaan nilai transaksinya begitu fantastis.

Oleh Sebab keberanian KPK patut dipertanyakan. Sementara amanat UU wajib kita tagih kepada KPK untuk segera dilaksanakan secara berani dan konsekuen, sehingga melahirkan pemberantasan korupsi yang berani dan hebat, juga melahirkan pemberantasan korupsi mampu mendayagunakan kewenangannya untuk menjadi uang Negara dari koruptor yang kita juluki sebagai penjahat kerah putih (white collar crime).

Maka yang patut untuk dipertanyakan oleh kita semua, seberapa jauh KPK melaksanakan UU Nomor 30 Tahun 2002, sebagai dasar KPK untuk memberantas Korupsi dengan jumlah kerugian Negara minimal 1 Milyar?, Apakah dengan OTT 100 juta dan 10 juta itukah yang menjadi kewenangan KPK? lalu bagaimana KPK mempertanggungjawabkan amanat UU tersebut, sementara KPK tidak menginginkan untuk diawasi? Semua itu akan menjadi pertanggungjawaban KPK di hadapan public, dan kalau tidak, maka KPK akan menjadi ‘alat penyempurna kegagalan’ selama ini.

Wallahualam bis shawab.

*Penulis Adalah Ketua Umum Komunitas Pemuda Madani & Penulis Buku Festival Pemberantasan Korupsi Indonesia

© Civilinstitute

Diterbitkan oleh Pemuda Madani

Corong Pemuda Madani: Literasi Narasi Revolusi

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai