Idealisasi Ramah di Tanah Bima

Rifaid Majid

Penulis: Rifaid Majid

“Jika kegagalan adalah sukses yang tertunda, berarti kita bisa harapkan kebohongan adalah kejujuran yang tertunda. Jika ketidakadilan adalah keadilan yang tertunda, maka kita bisa harapkan ingkar janji adalah kerja keras yang tertunda. Dan jika kemarahan adalah ke_RAMAH_an yang tertunda, maka kita bisa harapkan ketidak sungguhan adalah keikhlasan yang tertunda”.

Paradigma kekuasaan selalu mencoba mencitrakan diri dalam berbagai bungkusan, menggambarkan diri seolah janji politiknya sudah ditunaikan, padahal cara demikian merupakan metode dalam protes pembodohan terharap masyarakat. Anehnya, dalam proses pencitraan itu melibatkan orang-orang yang katanya merupakan para intelektual muda yang sangat kritis, mereka sekarang sudah menjadi bagian dari humas kekuasaan yang ditugaskan untuk bernarasi, walau fakta empiris tidak kita temukan aktualisasi dari janji politik kekuasaan selama ini.

RAMAH yang selama ini menjadi visi dan misi IDP hanya merupakan telaga kering yang kekurangan gagasan, narasi dan karya. Ia hanyalah mitos yang di idealisasikan oleh para penjilat kekuasaan, karena hanya dengan begitu mereka dapat mempertahankan eksistensinya. Disamping kekuasaan kekurangan pengetahuan dalam menformulasikan visi misinya. Bisa jadi, kehadiran buku ini menandakan bahwa kekuasaan sedang mengkonfirmasi kegagalannya selama ini, atau mungkin karena kekhawatiran kekuasaan terhadap kontestasi politik mendatang. Dusta dan kedzaliman jalan beriringan menghiasi ruang kehidupan, menawarkan sensasi murah meriah lalu membelenggu rulung hati dan pikiran jernih. Keadaan semakin tak terkendali, jika perdebatan benar-membenarkan dan pembenaran disuguhkan untuk mengklaim kebenaran.

Kekinian dan kedisinian kita bergejolak dengan berbagai penyimpangan yang menyisahkan keterpurukan secara etis dan moral, hingga kita sampai pada titik dimana kekuasaan menjadi sangat agoran. Kini kita kembali disuguhkan dengan pembenaran terhadap kinerja kekuasaan, walau fakta lapangannya tidak ada apa-apanya. Penyimpangan yang dilakukan oleh kekuasaan menjadi budaya baru yang akan terus di budidayakan oleh mereka-mereka yang telah membunuh Tuhan dalam dirinya. Dengan melihat fakta sosio-politik yang seperti ini, seakan membenarkan apa yang pernah dikatakan oleh pemikir besar abad ke_19 yaitu nietzsche, bahwa “God Is Dead” (Tuhan Telah Mati).

Sejarawan asal Inggris bernama Arnold Toynbee pernah mengatakan, “Ketika pengalaman kita yang mengerikan dan memalukan atas kekejaman-kekejaman manusia telah mengajarkan kepada kita, bahwa keberadaban tidak akan pernah menjadi sebuah fakta yang sungguh-sungguh terjadi, namun hanyalah suatu upaya atau cita-cita yang hingga kini, selalu jauh dari sasarannya yang ambisius”. Apa yang disampaikan Arnold Toynbee ini merupakan refleksi dari historisitas kekuasaan politik yang tidak benar-benar mementingkan rakyatnya melainkan ambisi otoritarianisme. Sisa-sisa feodalisme sangat kuat dan kental pada kekuasaan, sehingga kedzolimanpun tak terelakkan .

Makassar, 28 Februari 2020
Rifaid Majid

Diterbitkan oleh Pemuda Madani

Corong Pemuda Madani: Literasi Narasi Revolusi

Tinggalkan komentar

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai