
Oleh: Rifaid Majid*
Small is Beautiful, adalah sebuah ungkapan dari Shoemacher yang tepat untuk menggambarkan sebuah aktivitas kecil seorang perempuan, tetapi sangat bermanfaat. Sebuah aktivitas yang timbul dari mata air social intelligence (kecerdasan sosial), diperlihat oleh kaum perempuan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa egalitarisme bukanlah dongeng belaka. Kecerdasan seperti ini merupakan salah satu di antara banyak kecerdasan yang dimiliki perempuan yang mengandung dimensi nilai yang tak terhingga kadarnya. Gagasan konsep social intelligence ini menetes dari butir-butir kepedulian, keberanian berkorban, cinta kasih terhadap sesama, dan kerelawanan yang luar biasa dalam konteks sosial. Apa yang terjelaskan diatas merupakan gambaran yang tepat untuk menjelaskan perempuan-perempuan yang bersuara lantang beberapa hari yang lalu didepan kantor Bupati Bima, bukan untuk perempuan yang berada dalam istana kekuasaan.
Objektifikasi terhadap nilai kebenaran sebagai muara kehidupan, hanyalah sebagai simbol pemanfaatan yang dimanfaatkan oleh kekuasaan daerah dalam rangka menjalani kebohongan dan keangkuhan polarisasi yang sudah mapan, ini disebabkan oleh kegagalan kekuasaan di daerah dalam melihat fenomena sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat ditengah gejolak politik nasional dan politik dunia yang mempermainkan kemanusiaan demi kemaslahatan para oligarki kapitalis. Kekolotan kekuasaan daerah dalam menyikapi arus tuntutan masyarakat semakin terlihat, dimana kekuasaan daerah menampilkan wajah sentimen ketika merespon tuntunan teman-teman mahasiswa yang demonstran beberapa hari yang lalu. Kekuasaan berusaha menghentikan nilai demokrasi untuk hidup dan berkembang dengan melaporkan teman-teman mahasiswa ke pihak yang berwajib atas dasar pengrusakan fasilitas negara, tanpa kekuasaan sadari bahwa sebenarnya pengrusakan itu terjadi disebabkan oleh sikap acuh tak acuh yang ditampilkan oleh kekuasaan yang mengabaikan tuntutan mahasiswa dan masyarakat Kab. Bima.
Arogansi kekuasaan berusaha menyeragamkan berbagai persoalan sosial masyarakat Kab. Bima yang kompleks itu dalam terminologi kekuasaan yang oligarki, tanpa kekuasaan sadari untuk menempatkannya secara proporsional sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah. Hal ini akan membuat jurang baru dalam memisahkan elemen kehidupan dengan nilai keadaban yang menjadi cita-cita luhur dari kebudayaan masyarakat daerah. Bila semuanya dipertaruhkan atas nama kemaslahatan ummat tanpa diintervensi oleh berbagai macam kerumitan pola pikir kekuasaan yang mengekang itu, akan memungkinkan kesemuanya dapat terakomodir secara baik. Tapi dengan melihat kecenderungan dinamika sosial-politik yang semakin mengukuhkan paham fanatisme terhadap kekuasaan otoriter, sangat sulit untuk mewujudkan nilai-nilai keadaban itu.
Bentuk partipasi bukan dilihat berdasarkan argumentatif akumulasi yang termuat secara statistik matematis yang ditampilkan oleh kekuasaan yang berusaha menunjukkan keberhasilannya selama ini, melainkan transparansi dalam kepemimpinan kekuasaan selama inilah yang menjadi tuntutan kita. Dengan begitu, kita bisa melihat kejujuran dan kesadaran kekuasaan dalam menjalankan tugas fungsionalnya, ini merupakan acuan utama bagi kita untuk menformulasikan penilaian kita terhadap ekspresi kekuasaan. Kita sering terjebak pada persoalan angka matematis yang tunjukkan oleh kekuasaan, sehingga nilai luhur seperti “Maja Labo dahu” sering benar terabaikan, kalau bukan kekuasaan telah mengkhianatinya. Ini membuktikan bahwa kekuasaan selama ini tidak memiliki ikhtiar baik untuk mengurus daerah, sehingga kekuasaan tidak lagi mampu memahami berbagai persoalan yang berkembang ditengah masyarakat, karena selama ini kekuasaan sering terjebak dalam hitungan matematik yang ia mainkan dalam mengukur keberhasilan. Kekuasaannya telah menjadi instrumen utama bagi elit oligarki kapitalis untuk menundukkan kesadaran profetik masyarakat Kab. Bima.
Klaim keberhasilan dan kebenaran sering benar terdengar dengan berbagai argumentasi atas nama rakyat dari kekuasaan. Ini semakin membuat rakyat banyak terus menjerit dalam kepahitan kebingungan dan harga diri rakyat dipermainkan oleh kekuasaan demi nafsunya untuk terus berkuasa tanpa sedikitpun punya rasa malu, kekuasaan sering tampil dengan wajah tak berdosa dengan senyum manis sebagai senjata utamanya untuk mengelabui masyarakat daerah, supaya janji-janji politik kekuasaan selama ini yang tak kunjung juga menyapa dan menyentuh kehidupan masyarakat Kab. Bima tidak lagi dituntut untuk ditunaikan oleh kekuasaan. Tapi kita sebagai masyarakat modern yang tercerahkan, akan terus mengingat setiap sikap politik kekuasaan selama ini sebagai kejahatan besar terhadap nilai-nilai kearifan lokal dan tentunya juga merupakan kejahatan kemanusiaan. Melihat keadaan seperti ini, secara pribadi saya teringat dengan apa yang pernah dikatakan oleh Prof. Ahmad Syafi’i Ma’rif yang bernada pertanyaan pedas untuk kita renungkan secara bersama. Beliau mengatakan, “Masih adakah khaira ummah sekarang ini?”.
Khaira ummah seperti yang diajarkan oleh risalah kewahyuan dalam Al-qur’an surat Ali-Imran ayat : 110 itu, seolah hanyalah lantunan syair yang ditelan dan tenggelam dalam arus deras globalisasi, karena kebodohan dan kepicikkan alam pikiran yang melanda kekuatan-kekuatan raksasa yang ingin menguasai alam pikiran para cendekia dan kaum intelektual daerah dengan mengeksploitasi potensi-potensi kesadaran masyarakat yang memiliki hati nurani dan akal sehat. Umat terbaik yang dipuji Al-Qur’an itu, bukanlah masyarakat yang berisi kumpulan para malaikat, melainkan suatu masyarakat yang memiliki kesadaran penuh terhadap nilai-nilai profetik. Umat terbaik adalah sekumpulan manusia biasa yang tidak terlepas dari dosa dan kesalahan. Tapi mereka telah berbaiat menyerahkan tengkuk-tengkuk lehernya untuk tidak tunduk dihadapan hukum kekuasaan lalim dan dzolim melainkan atas dasar kebenaran.
Ketika pengalaman kita yang mengerikan dan memalukan atas kekejaman-kekejaman kekuasaan telah mengajarkan kepada kita, bahwa keberadaban tidak akan pernah menjadi sebuah fakta yang sungguh-sungguh terjadi, namun hanyalah suatu upaya atau cita-cita yang hingga kini selalu jauh dari sasarannya yang ambisius karena kita selalu membiarkan kekuasaan berkeliaran untuk menghegemoni pijakan intelektualitas kita dengan sikap otoritarianismenya. Maka dari itu, alasan kita menjadikan kebebasan sebagai instrumen dalam mengurai jalan perjuangan bukanlah hal yang tabu dalam proses demokrasi, mengingat kebebasan adalah sebuah tanggungjawab besar yang di amanatkan. Semakin dimengerti mengapa keimanan menjadi sebuah kepatuhan bersama, karena Tuhan percaya pada kebebasan manusia yang sadar untuk menemukan kebenaran dan keadilan.
Transformasi nilai keadaban harus dikonstruktifkan dalam pikiran intelektual, jika ingin menghindari absurditas dari pola pikir kekuasaan selama ini. Arogansi kekuasaan harus dilawan dengan sikap provokatif kaum intelektual. Intelektual sejati ialah menggeleng pada kekuasaan. Bila ada intelektual mengangguk pada kekuasaan, lalu apa bedanya mereka dengan Haman? Sang aktor intelektual yang menjilat kekuasaan Firaun. Wallahu’alam
Balikpapan, Selasa, 23-06-2020.
*Penulis Adalah Kordinator Pemuda Madani Balikpapan
